Jakarta, – Kritikan tajam dari Presiden ke-5 RI sekaligus Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri, mengenai fenomena “gonta-ganti aturan” setiap kali terjadi pergantian kepemimpinan nasional, yang diibaratkannya seperti tarian “poco-poco”, mendapat tanggapan dari Partai Golkar. Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Golkar, Sarmuji, menyatakan bahwa adalah hal yang wajar jika kebijakan berganti karena setiap presiden memiliki prioritas masing-masing, asalkan perubahan tersebut tetap dalam koridor yang disepakati dan bertujuan untuk kesejahteraan rakyat serta kemajuan bangsa.

Dialog publik mengenai kesinambungan kebijakan ini mengemuka setelah Megawati Soekarnoputri menyampaikan keprihatinannya dalam pidato di acara Trisakti Tourism Award di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta, pada Kamis (8/5/2025). Megawati menyoroti betapa seringnya aturan dan kebijakan dirombak total setiap kali ada presiden atau menteri baru.   

“Gawat ini republik ini. Maunya itu opo. Aturan bolak-balik gonta-ganti. Saya bilang seperti nari poco-poco,” ujar Megawati, mengungkapkan kekhawatirannya terhadap stabilitas dan arah pembangunan jangka panjang negara.   

Menurut Megawati, pergantian kepemimpinan idealnya tidak serta-merta diikuti dengan perubahan aturan yang drastis atau perombakan total terhadap kebijakan yang sudah berjalan. “Mbok ya satu kali saja, dret… gitu loh. Ganti menteri, ganti presiden, ya jangan langsung ganti aturan. Sudah ada yang mau dijalankan, terus diganti, itu bagaimana?” tanyanya retoris. Ia menekankan perlunya sebuah perencanaan pembangunan jangka panjang yang konsisten, semacam Garis Besar Haluan Negara (GBHN) di masa lalu, agar pembangunan tidak berjalan mundur akibat perubahan kebijakan yang serampangan. “Supaya tidak poco-poco. Sudah bagus, karena ganti aturan mundur lagi,” tambahnya.   

Golkar: Prioritas Presiden Berbeda Itu Wajar

Menanggapi sorotan Megawati, Sekjen Partai Golkar Sarmuji pada Jumat (9/5/2025) memberikan pandangannya. Menurut Sarmuji, perubahan kebijakan seiring dengan pergantian presiden adalah suatu keniscayaan dan hal yang wajar dalam dinamika pemerintahan.   

“Setiap presiden memang punya prioritas masing-masing. Wajar bila kebijakannya juga berganti,” kata Sarmuji kepada wartawan.

Namun, ia memberikan catatan penting bahwa perubahan tersebut harus tetap mengarah pada tujuan yang lebih besar. “Yang penting dalam satu arah kesejahteraan rakyat dan kemajuan bangsa,” tegasnya. Dengan kata lain, diskresi presiden untuk menetapkan prioritas dan kebijakan baru harus selalu dilandasi oleh kepentingan nasional dan kemaslahatan publik.

Lebih lanjut, Sarmuji juga menyinggung pentingnya kerangka acuan pembangunan nasional. Meskipun tidak secara eksplisit mendukung kembalinya GBHN dalam format lama, ia mengakui perlunya penguatan terhadap dokumen perencanaan yang ada saat ini, yaitu Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM).

“Yang diperlukan dan diperkuat saat ini adalah garis besar haluan negara yang dulu dinamakan GBHN. Sekarang berupa RPJM,” ujar Sarmuji. Ia menekankan bahwa setiap perubahan aturan atau kebijakan oleh presiden baru semestinya tetap berada dalam koridor perencanaan pembangunan yang telah disepakati bersama tersebut. “Yang terpenting perubahan aturan mesti dalam koridor yang telah disepakati,” tambahnya.   

Dialog Konstruktif untuk Pembangunan Berkelanjutan

Perbedaan pandangan antara Megawati Soekarnoputri dan respons dari Partai Golkar ini mencerminkan diskursus yang penting dalam tata kelola pemerintahan di Indonesia. Di satu sisi, ada kebutuhan akan stabilitas dan kontinuitas kebijakan untuk memastikan program-program pembangunan jangka panjang dapat berjalan efektif dan mencapai sasaran. Seringnya perubahan aturan memang berpotensi menciptakan ketidakpastian, menghambat investasi, dan memperlambat laju pembangunan.

Di sisi lain, setiap presiden yang terpilih melalui proses demokrasi tentu membawa visi, misi, dan janji kampanye yang perlu diwujudkan. Prioritas pembangunan bisa saja bergeser sesuai dengan tantangan zaman dan aspirasi masyarakat yang berkembang. Fleksibilitas dalam penyesuaian kebijakan menjadi penting agar pemerintah dapat responsif terhadap dinamika tersebut.

Kunci dari perdebatan ini, sebagaimana diisyaratkan oleh kedua tokoh, tampaknya terletak pada bagaimana menemukan keseimbangan yang tepat. Diperlukan sebuah mekanisme perencanaan nasional yang kokoh dan disepakati bersama sebagai panduan jangka panjang, namun tetap memberikan ruang bagi presiden terpilih untuk mengimplementasikan program-program prioritasnya tanpa harus merombak total fondasi yang sudah ada, kecuali jika perubahan tersebut benar-benar mendasar dan didukung oleh justifikasi yang kuat demi kepentingan nasional yang lebih besar. Dialog konstruktif antar elit politik dan stakeholders bangsa menjadi penting untuk merumuskan model pembangunan berkelanjutan yang ideal bagi Indonesia.